Salatiga sebagai kota kecil memiliki kebudayaan yang masih dipengaruhi berbagai unsur budaya seperti Cina, Belanda, dan daerah-daerah sekitar seperti Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta. Sehingga terjadinya asimilasi budaya.
Busana khas Salatiga terinspirasi dari pakaian sehari-hari wanita Salatiga jaman dahulu yaitu berupa kemben yang berpadu dengan kebaya sehingga disebut kebaya "tumpang tindih", sementara busana pria merupakan perpaduan Jawa, Cina dan Eropa yang mengacu pada busana petani tempo dulu.
(doc. Majalah Hati Beriman)
Busana pengantin wanita Salatiga diberi nama "Manca Warni Mustika Putri" dengan dua jenis yaitu Kebaya Tumpang Tindih Ilat-Ilatan dan Kebaya Panjang Tumpang Tindih Bedahan. Riasan wajah yang digunakan mengacu pada daerah Surakarta/Yogyakarta, dengan perbedaan untuk seni paes khas Salatiga diambil dari sentark titik temu menuju ujung hidung. Sanggul yang digunakan adalah gelung tekuk atau bokor tengkurep, lungsen tetap digunakan untuk mengikat Sekar Gumulog atau Sekar Udet yang nantinya membentuk Batuk Gajah yang merupakan lambang Salatiga.
Penciptaan busana tradisional Salatiga ini memakan waktu 5 tahun untuk perancangan busana yang sesuai dengan budaya, adat istiadat serta sejarah Kota Salatiga. Selanjutnya perlu proses pengukuhan dari Pemerintah melalui Perda tentang Busana tradisional Salatiga. Sehingga sebelumnya masyarakat Salatiga belum terlalu mengenal akan adanya busana ini.
Semoga kedepannya Pemerintah Kota Salatiga lebih gencar berpromosi terkait pakaian tradisional yang menjadi identitas Kota Salatiga ini melalui berbagai kesempatan atau event yang ada. Agar masyarakat Salatiga menjadi awam dengan busana tradisional Salatiga. Setelah mengenal maka bisa mencintai. Dengan mencintai maka budaya akan lestari.
Sumber : Redaksi. Oktober 2007, "Pakaian Tradisional Salatiga Menjadi Identitas Diri". Hati Beriman. http://beriman-hati.blogspot.com/2008/01/pakaian-tradisional-salatiga-menjadi.html , 27 Oktober 2018.
Comments
Post a Comment